Feedback

Tingkatkan Transparansi Sebagai Upaya Perbaikan Tata Kelola Penyaluran Dana Bagi Hasil

2 Mei 2019 14:31:46

Tingkatkan Transparansi Sebagai Upaya Perbaikan Tata Kelola Penyaluran Dana Bagi Hasil

2 Mei 2019 14:31:46 Sosialisasi dan Acara 174

Tingkatkan Transparansi Sebagai Upaya Perbaikan Tata Kelola Penyaluran Dana Bagi Hasil

Dalam upaya menegakkan prinsip transparansi pada sektor industri ekstraktif (migas dan minerba) baik di tingkat nasional dan daerah, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengadakan kegiatan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) di Hotel Aston, Jambi. Kegiatan ini membahas tentang penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) sektor industri ekstraktif. DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu.

Pembahasan isu DBH sangat terkait dengan prinsip transparansi yang selama ini digaungkan oleh Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) sebagai standar global transparansi industri ekstraktif yang saat ini telah dilaksanakan di 52 negara, termasuk Indonesia. EITI terus mendorong agar penyaluran dan pemanfaatan DBH dapat dilakukan secara transparan agar dapat meningkatkan pembangunan daerah, khususnya pada daerah-daerah kaya sumber daya alam yang selama ini belum dapat secara maksimal memanfaatkan kekayaan alam bagi kesejahteraan masyarakat.

“Bagi banyak daerah, penerimaan dari DBH migas dan minerba merupakan kontributor terbesar pendapatan asli daerah (PAD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahunnya.  Karena kontribusinya yang besar dan sifatnya yang fluktuatif karena dipengaruhi banyak faktor eksternal, pengetahuan tentang proses perhitungan alokasi DBH dan mekanisme distribusinya dari pusat ke daerah sangat perlu untuk diketahui oleh para perencana di tingkat daerah,” kata Asisten Deputi Industri Ekstraktif, Kemenko Bidang Perekonomian, Ahmad Bastian Halim.

Penyaluran DBH pada dasarnya bertujuan untuk menyeimbangkan antara pembangunan nasional dengan pembangunan daerah, sekaligus untuk mengurangi ketimpangan antara daerah penghasil dan daerah bukan penghasil sumber daya alam. Walaupun daerah penghasil memperoleh porsi yang lebih besar dibandingkan dengan daerah-daerah bukan penghasil, namun banyak daerah penghasil yang masih belum puas dengan pembagian DBH.

“Isu DBH ini bukanlah isu yang baru, dan sudah sangat banyak kajian yang membahasnya, namun dalam kerangka EITI masih sangat relevan untuk dibahas kembali. Beberapa isu yang selalu menjadi pertanyaan banyak pihak antara lain mengenai mekanisme dan besaran alokasi DBH bagi masing-masing daerah, proses penyaluran, isu mengenai kurang bayar dan lebih bayar, pemanfaatan DBH bagi masyarakat, dan lain-lain, masih selalu ditanyakan berbagai pihak,” tambah Bastian. 

Walaupun regulasi terkait DBH sudah diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan turunannya, beberapa pihak masih menganggap pembagian DBH dari sumber daya alam memiliki kelemahan, salah satunya karena pengaruh naik turunnya harga minyak dunia dan harga-harga komoditi lainnya, serta naik turunnya nilai tukar rupiah. Ketidakpastian ini  kerap membuat daerah salah menentukan perkiraan berapa DBH yang diterima, sehingga mengganggu perencanaan anggaran Pemerintah Daerah.

EITI berupaya mendorong transparansi mekanisme alokasi dan penyaluran DBH agar terjadi kesaling percayaan (‘trust”) antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Laporan EITI tahun 2016 yang sudah dipublikasikan, telah mencantumkan informasi DBH sampai tingkat kabupaten.