Siaran Pers – Launching Laporan EITI Indonesia 2012-2013
Siaran Pers – Launching Laporan EITI Indonesia 2012-2013
Jakarta, 23 November 2015 – Tim Transparansi Industri Ekstraktif menerbitkan Laporan EITI (Extractive Industries Transparency Initiative) ketiga di Ruang Graha Sawala, Komplek Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Laporan EITI tahun 2012-2013 ini, lebih lengkap dan lebih luas cakupannya apabila dibandingkan dengan dua laporan sebelumnya yaitu laporan tahun 2009 dan 2010-2011. Berbeda dengan laporan sebelumnya, laporan EITI terbaru tak hanya memberikan informasi tentang pembandingan atau rekonsiliasi antara penerimaan oleh pemerintah dengan informasi pembayaran yang disetorkan perusahaan ekstraktif, (yaitu perusahaan minyak dan gas bumi serta pertambangan mineral dan batubara) yang beroperasi di Indonesia, tetapi juga berisi informasi kontekstual yang dapat menjadi referensi penting bagi masyarakat. Sejumlah rekomendasi juga disajikan dalam laporan, sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki tata kelola industri ekstraktif di Indonesia.
Proses rekonsiliasi mencakup data-data penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi (migas) dan mineral dan batubara (minerba) untuk pajak dan non pajak tahun kalender 2012 dan 2013. Hasil rekonsiliasi penerimaan pajak dari sektor migas yaitu sebesar 8,85 miliar dolar AS pada tahun 2012, dan 8,04 miliar dolar AS pada tahun 2013. Sementara rekonsiliasi penerimaan non pajak sektor migas yaitu sebesar 26,93 miliar dolar AS pada tahun 2012, dan 23,6 miliar dolar AS pada tahun 2013. Perbedaan hasil rekonsiliasi antara penerimaan negara dan pembayaran dari perusahaan-perusahaan migas yaitu 0.001% – 2,32%. Untuk hasil rekonsiliasi pajak sektor minerba yaitu sebesar Rp. 5,89 triliun dan 2,44 miliar dolar AS pada tahun 2012, dan Rp 4,43 triliun dan 1,3 miliar dolar AS pada tahun 2013. Untuk penerimaan non pajak sektor minerba yaitu Rp. 3,79 triliun dan 1,93 miliar dolar AS di tahun 2012, dan Rp.4,03 triliun dan 2,1 miliar dolar AS di tahun 2013. Perbedaan hasil rekonsiliasi antara penerimaan negara dan pembayaran dari perusahaan-perusahaan minerba yaitu 0.005% – 3,83%. Dari data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), penerimaan negara dari sektor migas tahun 2012 sebesar Rp 322,14 triliun berkontribusi 24,1% dari total penerimaan negara, sedangkan pada tahun 2013 penerimaan migas Rp 326,78 triliun berkontribusi 22,7% terhadap total penerimaan negara. Penerimaan dari sektor minerba pada tahun 2012 sebesar Rp 87,58 triliun berkontribusi 6,5% terhadap total penerimaan negara. Kontribusi ini meningkat di tahun 2013 dengan jumlah penerimaan sebesar Rp 125,57 triliun, yang berkontribusi 8,7% terhadap total penerimaan negara.
Selain informasi rekonsiliasi, laporan EITI 2012-2013 juga berisi informasi kontekstual yang dapat menjadi referensi penting bagi masyarakat yaitu: kerangka hukum pelaksanaan transparansi di Indonesia, tata kelola industri ekstraktif di Indonesia, proses alokasi dan tender wilayah pertambangan migas dan minerba, manajemen penerimaan negara dari industri ekstraktif, tanggung jawab sosial perusahaan/CSR (Corporate Social Responsibility) industri ekstraktif, gambaran kekayaan industri ekstraktif dan kontribusinya untuk negara, partisipasi BUMN di sektor ekstraktif, dan rekomendasi untuk perbaikan transparansi industri ekstraktif di Indonesia. “Kita harapkan Laporan ketiga EITI ini akan lebih mudah diterima dan dipahami masyarakat. Laporan kontekstual yang mencakup informasi yang langsung bersinggungan dengan masyarakat seperti tanggung jawab sosial atau CSR perusahaan dapat menjadi acuan masyarakat terutama yang berada di sekitar tambang” ujar Dr. Montty Girianna, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Laporan EITI 2012-2013 juga menyajikan sejumlah temuan dan rekomendasi untuk perbaikan tata kelola industri ekstraktif di Indonesia. Rekomendasi yang ada dalam laporan, ditentukan berdasarkan observasi dari sejumlah hambatan yang ditemui saat penyusunan laporan. Rekomendasi diharapkan dapat menjadi acuan bagi seluruh pemangku kepentingan yang bersinggungan langsung dengan pengelolaan migas dan pertambangan. Dr Montty Girianna mengatakan “Penyusunan Laporan EITI mempunyai tujuan jangka panjang perbaikan tata kelola industri ekstraktif. Rekomendasi diperlukan untuk memberikan masukan kepada seluruh stakeholder untuk perbaikan tersebut”.
Indonesia menjadi Negara Pelaksana EITI pada tahun 2010, setelah pemerintah mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang diperoleh dari Industri Ekstraktif. Pada bulan Oktober, 2014 lalu, Indonesia ditetapkan sebagai negara dengan status EITI Compliant (taat azas transparansi penerimaan industri ekstraktif) dalam Sidang Tahunan Dewan Internasional EITI di Naypyidaw, Myanmar. Sebagai negara dengan status EITI Compliant, setiap warga negara dapat mengakses informasi yang mendalam tentang pengelolaan industri migas dan pertambangan di Indonesia.
Untuk informasi lebih lanjut, mohon menghubungi:
Doni Erlangga
Sekretariat EITI Indonesia
Email : donierlangga@eiti.ekon.go.id
Unduh Dokumen :