FGD: Peran Pemangku Kepentingan Dalam Peningkatan Transparansi Pengelolaan SDA Pertambangan, Palembang, 27 September 2016
FGD: Peran Pemangku Kepentingan Dalam Peningkatan Transparansi Pengelolaan SDA Pertambangan, Palembang, 27 September 2016
Sekretariat Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia mengadakan acara Focus Group Discussion (FGD) EITI di Hotel Aston Palembang, Sumatera Selatan, 27 September 2016. Kegiatan tersebut dihadiri para pemangku kepentingan di sektor pertambangan yaitu pemerintah, industri, perwakilan masyarakat sipil, dan akademisi. Selain untuk mendorong upaya transparansi di industri ekstraktif yang menjadi misi EITI, kegiatan ini juga bertujuan untuk mendapatkan masukan dari daerah tentang berbagai isu seputar pengelolaan pertambangan.
Acara dibuka oleh Asisten Deputi Industri Ekstraktif selaku Koordinator Nasional EITI, Ahmad Bastian Halim. Bastian memaparkan keuntungan dari adanya transparansi bagi industri, pemerintah, dan masyarakat umum.Dari sudut pandang bisnis, transparansi akan memberikan informasi yang setara kepada semua pihak sehingga pelaku bisnis akan berkompetisi secara sehat dan pada akhirnya akan menguntungkan negara dan masyarakat. Dari kacamata masyarakat, transparansi dapat memberikan informasi tentang sumber daya alam yang dimanfaatkan dari wilayahnya. Masyarakat dapat memantau apakah pengelolaan sudah sesuai dan memberikan manfaat bagi mereka. Bagi pemerintah, transparansi akan memudahkan proses komunikasi dan informasi sehingga dapat melakukan check and balance demi perbaikan tata kelola di sektor ini. “Menyadari pentingnya transparansi, sejak tahun 2010 Indonesia bergabung menjadi negara yang melaksanakan standar EITI” kata Bastian.
Kegiatan yang dilaksanakan dalam dua sesi tersebut menghadirkan beberapa diskusi menarik. Salah satu topik yang sempat menjadi perdebatan adalah pelaksanaan UU 23/2014 yang mulai berlaku pada Oktober 2016. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bangka Tengah, Ari Yanuar mempertanyakan alasan pemindahan kewenangan dari kabupaten ke provinsi karena adanya “raja-raja kecil” di kabupaten. Menurut Ari, pemindahan kewenangan ke provinsi hanya akan memindahkan “raja-raja kecil” tersebut ke tingkat yang lebih tinggi. Ari juga mempertanyakan pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) yang menurutnya bisa lebih tinggi didapatkan kabupaten. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Selatan, Robert Heri mengatakan dirinya merasa mendapat musibah dengan pemindahan kewenangan ke provinsi karena harus memperbaiki berbagai Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dari kabupaten. Robert mengatakan bahwa Distamben Sumsel bekerjasama dengan Korsup KPK dan perwakilan masyarakat sipil Pilar nusantara (PINUS) dalam perbaikan IUP. Dari 356 IUP, tercatat 78 IUP dicabut dan 68 IUP tidak diperpanjang. Jumlah tersebut akan terus bertambah karena masih banyak jumlah IUP yang tak memenuhi syarat. Menyoroti pembagian DBH, Syahrir AB dari Asosiasi Pertambangan Indonesia mengatakan bahwa DBH adalah subsidi silang dari daerah kaya energi ke daerah lainnya. Apabila kabupaten selalu merasa kurang hal itu dirasa kurang tepat karena pembagian DBH juga memikirkan daerah lainnya agar tak terjadi disintegrasi bangsa.